Di Luar Sana, Kita Tidak Baik-baik Saja (Opiniku)

Memasuki tujuh hari, bulan April 2020. Tepatnya saat ini tanggal 13- bulan Syaban- Tahun 1441 Hijriah. Yang sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan. Bulan suci umat Islam, bulan suci kami. Namun saat ini Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Membuat saya yang sekarang sedang menjalankan masa kerja dirolling dari perusahaan tempat saya bekerja, yakni kerja hanya tiga hari datang ke kantor dalam satu pekan. Merasa sangat sedih. Bagaimana tidak sedih, Negara Indonesia tercintaku mengalami wabah pandemi tertular dari Negeri Timur sana. Wabah penyakit dari virus bernama COVID-19.  

Beberapa Provinsi telah ditandai pandemi (terpapar wabah). Saya termasuk yang tinggal di provinsi Jawa Barat, yang dinyatakan daerah pandemi nomor 2 paling banyak terpapar virus COVID-19 setelah DKI Jakarta juga ditandai zona merah. Bagaimana tidak resah, saya tinggal di Kabupaten Bekasi, yang daerahnya belum semua menjalani sosial distancing atau karantina mandiri. Karena Kabupaten Bekasi memiliki banyak kawasan industri tersebar di beberapa wilayahnya, dan puluhan pabrik-pabrik masih beroperasi meski tidak full kerja dalam satu pekan itu. Ada beberapa karyawannya yang masuk kerja di bagian operator alias orang produksi, dan ada yang menjalankan sistem WFH (Work From Home) dibagian managemen officenya dirolling juga seperti kantor saya.

Pandemi ini telah membuat ekonomi di setiap daerah melesu, bahkan turun. Para peternak ayam menjual ayam potongnya dengan harga murah, dikarenakan geliat pasar tidak ramai seperti biasanya. Akibat adanya sosial distancing/karantina mandiri yang diharuskan oleh pemerintah pusat juga pemerintah daerah. Angkutan kendaraan umum dan angkutan kendaraan online mengalami sepi penumpang, omsetnya turun drastis. Pedagang pasar pun berkeluh dagangannya masih bersisa banyak. Pedagang keliling mengeluh betapa sepi pembeli karena orang-orang lebih banyak terkurung di rumahnya daripada berada di jalan umum atau pun keluar rumah. Dan banyak lagi keluhan yang saya dengar dari beberapa rakyat kecil yang sehari-harinya bergantung cari nafkah dengan berdagang. 

Bukannya saya bandel, tidak mengikuti sepenuhnya anjuran pemerintah pusat untuk di rumah saja. Karena keadaan tempat kerja saya masih beroperasi/bergeliat. Anjuran pemerintah daerah untuk cuci tangan dengan sabun ataupun memakai hand sanitizer setiap dari berpergian dan setelah berada di tempat umum, telah saya lakukan setiap hari. Pun memakai masker saat keluar rumah. Meski bergumul kekhawatiran dalam hati akan tertular virus tersebut. Saya tetap optimis menjalankan aktivitas seperti biasa ikhtiar niat bekerja untuk kepentingan keluarga.

Ada suatu hal yang terasa miris di hati saya, meski ini memang diharuskan oleh beberapa Ulama di negeri kami tercinta. Kami mayoritas Muslim terbesar kedua di dunia. Sejak adanya pandemi wuhan/wabah virus korona (COVID-19) ini masuk ke negara kami dan menyebar ke beberapa provinsi; masjid-masjid meniadakan shalat jamaah, dan shalat Jumat. Untuk memutuskan rantai penyebaran virus tersebut, begitu alasannya. Sedangkan shalat jamaah harus merapatkan barisan shaf pada shalat. Jujur saja, saya sedih ketika masa pandemi ini terjadi, masjid-masjid mulai sepi dari kegiatan ibadah berjamaah. Tidak diperbolehkan untuk kumpul-kumpul, seperti menggelar pengajian, mengadakan tabligh akbar, atau sejenis kegiatan bersifat perkumpulan yang berisiko tertular dan menularkan wabah tersebut. Karena virus ini tidak terlihat jelas gejala awal penyakit, masa inkubasinya 7~14 hari atau 14~21 hari baru bisa terlihat keluhan gejala pada fisik si pengidap. Seperti demam tinggi, batuk kering, sesak napas disertai flu, batuk rejan, mual, pusing, kejang, sesuai dengan kondisi atau keadaan pasien yang positif.

Memang cara itu adalah untuk mengantisipasi dan memutuskan mata rantai penyebaran virus. Termasuk perkumpulan lainnya selain itu; kegiatan ibadah di gereja, kegiatan di rumah ibadah lainnya, workshop, seminar, pesta pernikahan, pesta khitanan, perkumpulan apapun, bahkan tahlilan untuk orang meninggal dunia pun disarankan untuk tidak diadakan. Apalagi tempat nongkrong-nongkrong lainnya. Satpol PP dan polisi siap membubarkan jika masih ada yang nekad melakukannya.

Tapi, saya merasa masjid-masjid yang megah itu seperti rumah hantu saat tidak dipakai untuk beribadah jamaah. Padahal ketika dulu waktu saya di pengajian/sekolah madrasah ibtidaiyah pertama kali mendapatkan ilmu agama (pengamalan Hablumminallah dan hablumminannas) dari masjid. Masjid dikatakan oleh ustad dan ustadzah saya yakni pusat terkuat umat Islam sesudah rumah ibadah di Mekah. Fungsi masjid bukan saja untuk beribadah, tapi multifungsional sosial lainnya. Masjid sebagai pemersatu umat jika dikelola oleh dewan-dewan dan tokoh masyarakatnya dengan benar. Masjid tempat menimba ilmu agama, pencerahan tentang tauhid, tidak membedakan golongan dan ras ketika berada di dalamnya. Masjid rumah Allah.SWT yang paling bercahaya. Maka sering kita dengar bahwa masjid bisa dijadikan tempat pengungsian atau penampungan korban bencana alam, dan penampungan masalah sosial masyarakat lainnya. 

Namun seiring waktu kemari, sering juga masjid dijadikan tempat politisasi dimasa-masa pemilu. Oleh orang-orang bermental pluralisme, liberalisme, materialistis, penyebaran paham radikalisme dan politis, menjadikan masjid sebuah tempat untuk berorasi, promosi politik partai mereka kepada umat, ataupun pencucian otak dengan paham radikal sama halnya meracuni umat dengan racun keburukan dunia. Itu saya sangat tidak setuju. Bahkan menyayangkan, kenapa oknum-oknum yang mengaku islami, tapi isi kepala mereka kerdil dan picik yang menjadikan masjid untuk memenuhi hasrat dunia mereka mendapatkan kekuasaan politik duniawi, perhatian masyarakat lainnya, dan pengikut.

Mungkin Allah.SWT mendatangkan virus tersebut untuk menyadarkan semua umat Islam. Bagaimana rasanya saat kita dilarang untuk pergi ke masjid, sekadar shalat jamaah saja. Mungkin masjid-masjid itu sementara diberikan waktu oleh-Nya untuk dinetralisir dari orang-orang yang berpikiran dan berniat kotor macam kita ini saat akan pergi  ke  masjid. Umat Nabi Muhammad.SAW yang dibilang umat paling beruntung, tetapi sering sekali kufur nikmat dan kufur iman. Dan saya dapat lagi info bahwa kemungkinan selama bulan Ramadhan nanti di beberapa tempat, tidak akan diadakan ruwahan/Nisfu syaban, shalat tarawih di rumah saja, tidak di masjid. Pun ketika Idul Fitri tiba, shalat Idul Fitri tidak diadakan. Hati saya sangat sedih. Allah.SWT sedang menguji dan menegur kita semua. 

Saya tahu dan juga merasakan kesedihan pada banyak korban yang meninggal dalam pandemi ini. Dua ribu lebih orang yang terpapar hari ini, dua ratusan orang lebih meninggal dunia, keluarga mereka banyak yang kehilangan dan berduka sangat dalam. Juga para pejuang (tenaga medis) yang berada di garda depan menangani pasien positif korona dan puluhan tenaga medis seperti dokter dan perawat gugur saat menjalankan tugas karena berbagai kendala dan kondisi tidak menguatkan mereka. Saya juga ikut susah hati dengan stigma pandangan warga yang buruk pada mereka dan keluarga yang positif kena virus itu yang seolah dijauhi dan harus jaga jarak merasa bahwa mereka yang positif kena virus tersebut adalah sebuah aib. Padahal mereka pun tidak mau terkena virus tersebut. Bukan kehendak mereka.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja di luar sana. Wabah virus yang sudah lebih dahulu menyebar di berbagai negara di dunia, kini belum sepenuhnya berakhir masih bergentayangan. Di luar negeri sana mereka pun ikut merasakan dampak negatif wabah yang luar biasa. Pandemi serupa hantu yang tidak kasat mata. Saya dan keluarga sebisanya menjaga diri agar tidak terpapar dari virus tersebut. Saling mengingatkan, saling menguatkan, saling menghibur, adalah kunci agar pertahanan tubuh kita semua kuat dari virus penyakit. Termasuk menguatkan mental kita dan orang lain dengan tidak menyebarkan hoax dan ketakuatan. Sekiranya itu yang diperlukan warga negara kita semua. Setidaknya lebih bermanfaat menyebar semangat dan kebaikan meski hanya secuil. Apalagi jika menyumbang sesuatu yang berharga dari kita, misalkan harta dalam bentuk uang yang dibelikan APD (Alat Pelindung Diri) untuk para tenaga medis kita yang sedang berjuang menangani pasien positif virus sangat memerlukan sekali. Agar makin banyak yang sembuh dan mencegah bertambahnya korban terpapar dan korban meninggal dunia. Atau memberikan bantuan pada keluarga korban pandemi korona dalam masa isolasi mandiri.

Yang lebih penting lagi adalah, pada masa pandemi COVID-19 ini kita umat Islam harus lebih menguatkan iman dan islam dalam kondisi apapun, meski tidak pergi ke masjid. Saya harap saudara-saudara seiman saya tetap bertambah imannya, ibadahnya, islamnya agar tidak kosong dan melupa. Karena sangat berbahaya jika kita terlena dengan keadaan karena penundaan untuk ibadah berjamaah di masjid. Berbahaya sekali, jika tidak diiringi dengan ibadah yang berkalilipat di rumah bersama keluarga. Saling menguatkan iman dengan berpegang erat pada ajaran-Nya dan ajaran Rasulullah.SAW. Agar kita tidak lupa dengan ritual ibadah-ibadah, praktik ilmu agama (hablumminallah dan hablumminannas), shalat berjamaah, shalat jumat, pengajian lainnya jika wabah sudah berakhir.  

Yang tidak kalah penting lagi, rajin ibadah di rumah serta banyak-banyak berdoa dengan khusuk untuk negara tercinta, agar Alloh.SWT Zat Maha Segala mengangkat dan menghilangkan wabah virus COVID-19 di seluruh dunia ini. Memulihkan kembali dunia juga keadaan Negara kita tercinta jadi lebih baik. Aaamiin.

*Cikarang Barat, 07-April-2020, Rosi.JS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"School From Home" & "Work From Home" dalam Pandemi Korona (Opiniku)